HISTORIOGRAFI PERS INDONESIA: EKSISTENSI PERS DARI MASA KE MASA

Ditulis oleh Rr. Zafira Ardha Pramesti
Mahasiswa Ilmu Sejarah 2019, Universitas Airlangga


PENDAHULUAN

Definisi umum dari pers yaitu suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik seperti mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi berbentuk tulisan, suara, gambar, data grafik, dan bentuk-bentuk lainnya. Berbagai bentuk tadi kemudian dipublikasikan melalui media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran media yang ada. Sebagai salah satu bentuk media massa yang berusia paling tua, pers lahir bersamaan dengan dikenalnya budaya baca tulis oleh manusia. Kemampuan tersebut membuka pintu selebar-lebarnya bagi kemajuan peradaban umat manusia.

Meski pemerintahan silih berganti, pers selalu dibutuhkan oleh pemerintah dan rakyat dalam kehidupan bernegara. Hal itu tak terlepas dari fungsi pers sebagai penyampai informasi tercepat kepada masyarakat luas, yang mana bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang sudah, sedang, dan akan dilaksanakan. Fungsi lain dari pers yaitu sebagai edukator terhadap program dan kebijakan pemerintah agar mendapat dukungan dan ketaatan masyarakat. Beberapa fungsi yang tak kalah penting adalah sebagai pengawas atau pengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar tidak melakukan penyimpangan yang merugikan negara. Pers juga menjadi fasilitator atau mediator antara suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

Ditinjau dari sisi historis, pers di Indonesia lahir pada masa kolonialisme Belanda. Meskipun ide pendirian pers berawal dari bangsa Barat, namun dampaknya sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia. Hal tersebut dibuktikan melalui masyarakat Indonesia dapat mengetahui beragam peristiwa yang terjadi di dunia pada saat itu, sekaligus menjadi kesempatan masyarakat untuk membaca dan mempelajari bahasa Belanda. Pada masa awal perkembangan, pers sebagian besar masih ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda. Memasuki abad ke-19, penerbitan pers mulai dilakukan oleh Indo-Belanda dan pribumi. Dinamika perkembangan pers dari masa ke masa dalam sebuah negara menjadi hal yang menarik untuk diamati. Sejarah Indonesia mencatat bahwa keberadaan pers memiliki peran yang sangat penting dalam menggerakan masyarakat ke arah kemajuan.

 

PERS PADA MASA SEBELUM KEMERDEKAAN

Kajian sejarah pers terdapat pada buku “Perkembangan Pers di Indonesia” karya Akhmad Efendi yang diterbitkan oleh ALPRIN di tahun 2010. Buku tersebut membahas tentang pengetahuan pers secara umum yang mencakup pengertian, fungsi, dan tanggung jawab; serta sejarah dan perkembangan pers sejak masa kolonialisme Belanda, masa Orde Lama dan Orde Baru, hingga masa Reformasi. Selain itu, buku ini juga membahas tentang sosok jurnalis sebagai bagian dari pers mencakup kekerasan yang pernah terjadi pada pegiat pers, konflik-konflik dalam dunia pers, dan peran media dalam kehidupan. 

Penjelasan tentang sejarah pers di Indonesia dari masa ke masa dijabarkan dalam bab kedua buku ini. Awal mula persuratkabaran Indonesia pada abad 17 ditandai dengan penerbitan surat kabar secara berkala. Pada saat itu, isi koran memuat berbagai berita dari negara-negara Eropa seperti Polandia, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark. Sejak abad 17, bangsa Eropa sudah mulai merintis pembuatan pers, meskipun masih sangat sederhana dalam penampilan dan mutu pemberitaan. Surat kabar dan majalah sudah menjadi kebutuhan masyarakat di masa itu.

Surat kabar dan majalah yang beredar telah memuat berbagai berita mengenai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional, dan berbagai peristiwa penting di Hindia Belanda. Perkembangan pers didukung oleh munculnya masyarakat perkotaan yang tinggi kebutuhannya terhadap jasa, informasi, dan komunikasi. Untuk memenuhi hal itu, maka dibangun beragam bentuk infrastruktur pendukung.

Sampai akhir abad 19, penerbitan pers masih menggunakan bahasa Belanda sehingga hanya orang-orang tertentu yang dapat membaca. Pers di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), menyebabkan hal-hal yang diberitakan sekadar hal biasa dan ringan seperti aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, serta berita ekonomi dan kriminal. Memasuki abad ke-20, tepatnya pada tahun 1903, isi koran mulai memanas karena persoalan politik serta perbedaan paham antara masyarakat dan pemerintah mulai diberitakan. Di masa ini, pers berperan sebagai penyebar gagasan-gagasan kebangsaan sekaligus corong pergerakan revolusioner yang membuat Pemerintah Belanda bertindak represif terhadap surat kabar pribumi yang dianggap berbahaya.

Perkembangan pers di masa berikutnya yaitu masa Pergerakan Nasional dan Kependudukan Jepang dapat ditemui dalam buku “Pers dan Perjuangan Kemerdekaan” karya Wahyudi Djaja (2018) dengan Penerbit Cempaka Putih. Di masa Pergerakan Nasional, surat kabar berbahasa Belanda bisa dipahami oleh kelompok bangsawan terpelajar yang mendapat pendidikan Barat dan sudah menguasai bahasa Belanda. Hal tersebut memunculkan berbagai pemikiran brilian dari tokoh pergerakan yang turut andil dalam semangat kebangsaan terkait pentingnya nasionalisme. Peranan pers mengalami perubahan pada awal abad 20 saat banyak tokoh terpelajar berani mengkritik kebijakan pemerintah Belanda yang tidak menguntungkan penduduk. Selain bangsa Belanda dan pribumi dari berbagai daerah, perkembangan pers di Indonesia juga didukung oleh bangsa Cina. Golongan ini menerbitkan dua jenis pers, yaitu pers berbahasa asli Cina yang dikelola oleh Singkek dan pers berbahasa Melayu dikelola oleh Cina Peranakan.

Sedangkan di masa Kependudukan Jepang, Pergerakan nasional memasuki babak baru yang semakin dinamis. Untuk melancarkan propaganda, Jepang mendirikan berbagai lembaga seperti Jawa Shinbunkai yang bertugas mengawasi surat kabar yang terbit di Jawa. Selain itu, juga mengeluarkan Undang-undang Pemerintah (Osamu Seiri) Nomor 16 untuk mengendalikan pers agar tidak membahayakan kedudukan Jepang. Pers di zaman Jepang sebagian besar menggunakan nama khas semangat bangsa Jepang, yang berisikan propaganda serta pujian terhadap pemerintah dan tentara Jepang. Misalnya Soeara Asia (Surabaya), Asia Raja (Jakarta), dan Sinar Baroe (Semarang).

 

PASANG-SURUT PERS SETELAH KEMERDEKAAN

Kembali pada buku “Perkembangan Pers di Indonesia” karya Akhmad Effendi, terdapat pula penjabaran mengenai perkembangan sejarah pers di masa Orde Lama. Di masa ini, terjadi pengambilalihan semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang. Surat kabar pertama yang terbit setelah kemerdekaan adalah koran Berita Indonesia di Jakarta pada 6 September 1945. Isi dari surat berita kebanyakan berupa propaganda anti Belanda sebagai upaya serangan balik terhadap Belanda yang masih belum menarik diri dari Indonesia. Surat kabar hanya diterbitkan dalam empat halaman karena kendala dana dan percetakan yang minim.

Pers di masa penjajahan Belanda dan Jepang hanya berisikan kepentingan penguasa yang membuat masyarakat enggan membacanya. Sedangkan setelah kemerdekaan, antusias masyarakat terhadap koran semakin naik. Mereka tidak ingin ketinggalan berita perkembangan negaranya sedikit pun. Namun di tahun-tahun awal kemerdekaan, semangat perjuangan kemerdekaan mulai luntur akibat terjadinya persaingan ketat antar kekuatan politik. Pers hanya sebagai corong partai politik. Meskipun pers berubah menjadi bersifat partisipan, namun bisa dikatakan bahwa periode ini adalah masa bahagia yang singkat terhadap kebebasan pers sebelum rezim Orde Lama berkuasa. Pernyataan pemerintah Orde Lama yang menjamin kemerdekaan pers hanyalah untuk memperkuat status quo, bukan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah.

Pada periode Demokrasi Terpimpin, surat kabar yang dikelola kaum komunis tumbuh dengan subur. Hal itu memunculkan perlawanan dari kelompok nasionalis. Soekarno yang lebih condong ke kaum kiri akhirnya melarang penerbitan surat kabar kaum kanan. Periode ini umumnya dikatakan sebagai periode terburuk bagi perkembangan pers Indonesia, karena segala persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa telah melampaui batas-batas toleransi pers. Pers diatur secara ketat dan difungsikan sebagai alat revolusi pemerintah.

Ketika rezim Orde Baru berkuasa, rakyat Indonesia dijanjikan akan keterbukaan dan kebebasan dalam berpendapat. Pers di masa ini disebut sebagai pers Pancasila yang bercirikan bebas dan bertanggung jawab, namun justru kebalikannya. Segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui Departemen Penerangan.

Kebebasan pers pada rezim ini sangat terbatas, dan banyak terjadi pembredelan media massa. Pembredelan paling fenomenal adalah pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) terhadap sejumlah media massa seperti Tempo,Detik, dan Editor. Pemerintah menutup penerbitan surat kabar dan majalah yang tergolong kritis. Dalam buku The Press in New Order Indonesia karya David T. Hill (kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Pers di Masa Orde Baru" dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada 2011), menambahkan bahwa pembredelan media massa memicu demonstrasi oleh ratusan orang selama berhari-hari. Selain wartawan, para demonstran juga berasal dari kalangan mahasiswa, seniman, politisi, kaum professional, pengacara, dan cendekiawan.

Setelah rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Ditandai dengan munculnya media-media baru dalam bentuk cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Namun di sisi lain, kebebasan tersebut dieksploitasi oleh industri media untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya sehingga mengabaikan fungsi pers sebagai instrumen pendidik masyarakat. Dibuktikan dengan penayangan berita provokatif, sensasional, dan yang bersifat cabul.

 

PENUTUP

Buku-buku yang memuat bagaimana pers dituliskan di setiap masanya menjadi bentuk perhatian manusia terhadap perkembangan dan eksistensi pers itu sendiri. Kemajuan teknologi yang ada saat ini membuat pers semakin bebas dan inovatif dalam mengemas berita-berita. Maka dari itu, informasi saat ini sangat mudah dijangkau dimanapun dan kapanpun. Sebagai pilar demokrasi, pers berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan suatu negara. Fungsi-fungsi dari pers merupakan wujud upaya manusia dalam mempertahankan eksistensi pers sebagai bagian dari kebutuhan hidup agar dapat mengetahui realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

 

DAFTAR PUSTAKA

Djaja, Wahyudi. 2018. Pers dan Perjuangan Kemerdekaan. Klaten: Cempaka Putih.

Efendi, Akhmad. 2010. Perkembangan Pers di Indonesia. Semarang: ALPRIN

Hill, David T. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

People Who Made My 2014

Study Tour Jogja

Proposal Penelitian Sejarah - Gaya Arsitektur Museum WR. Soepratman di Surabaya